Senin, 30 Juni 2014

Taenia solium



BAB I
PENDAHULUAN

             Cestoda juga disebut sebagai cacing pita karena bentuknya pipih panjang seperti pita. Tubuh Cestoda dilapisi kutikula dan terdiri dari bagian anterior yang disebut skoleks, leher (strobilus), dan rangkaian proglotid.
  Pada skoleks terdapat alat pengisap. Skoleks pada jenis Cestoda tertentu selain memiliki alat pengisap, juga memiliki kait (rostelum) yang berfungsi untuk melekat pada organ tubuh inangnya. Dibelakang skoleks pada bagian leher terbentuk proglotid.
Setiap proglotid mengandung organ kelamin jantan (testis) dan organ kelamin betina (ovarium).Tiap proglotid dapat terjadi fertilisasi sendiri. Proglotid yang dibuahi terdapat di bagian posterior tubuh cacing. Proglotid dapat melepaskan diri (strobilasi) dan keluar dari tubuh inang utama bersama dengan tinja.
Bentuk badan cacing dewasa memanjang menyerupai pita,biasanya pipih dorsoventral,tidak mempunyai alat cerna atau saluran vascular dan biasanya terbagi atas segmen-segmen yang di sebut proglotid yang bila dewasa berisi alat reproduktif jantan dan betina. Ujung bagian anterior berubah menjadi sebuah alat perekat,di sebut skoleks,yang di lengkapi dengan alat-alat isap dan kait-kait
.




 BAB II
ISI

A. DEFINISI
Taeniasis
  Penyakit zoonosis parasite yang disebabkan oleh cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia pada manusia.
Sistiserkosis/neurosistiserkosis
  Sistiserkosis (cysticercosis) ialah infeksi oleh bentuk larva Taenia solium pada manusia, apabila infeksi ini berlangsung pada system saraf pusat, maka disebut neurosistiserkosis.

Hospes Definitif dari Taenia sp hanya manusia, dan pada Taenia solium manusia juga berperan sebagai hospes perantara. Sedangkan hewan (hospes perantara) ialah babi.

Sumber penularan :
Taeniasis solium :
1. Memakan daging babi yang mengandung larva (cysticercus cellulosa)
Sistiserkosis cellulosa :
1. Melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh telur-telur cacing Taenia solium
2.Penularan juga dapat terjadi karena autoinfeksi, yaitu langsung melalui ano-oral akibat kebersihan tangan.

3. Penularan juga bisa karena autoinfeksi interna, yaitu infeksi yang berlangsung dengan sendirinya. Hal ini disebabkan oleh gerakan batik peristaltic usus, misalnya pada keadaan muntah-muntah sehingga proglotid atau telur cacing naik ke lambung lalu pecah dan isinya keluar dan menembus dinding lambung kemudian masuk ke peredaran darah dan pada akhirnya menjadi cysticercus di dalam organ-organ.

Masa tunas :
Masa tunas infeksi cacing berkisar antara 8-14 minggu. Cacing pita dewasa daoat bertahan hidup sampai 25 tahun dalam usus.


B. TAKSONOMI
Kingdom         : Animalia
Phylum            : Platyhelminthes
Class               : Cestoda
Ordo               : Cyclophyllidea
Family             : Taeneidea
Genus             : Taenia
Species           : Taenia solium

Morfologi :
Cacing dewasa kemungkinan berukuran panjang 3-5 meter, namun juga ada yang panjangnya mencapai 8 meter. Bagian kepala (skoleks) Taenia solium memiliki rostelum dengan dua baris kait. Proglotid gavid panjangnya 10-12mm dan lebarnya 5-6mm serta memiliki uterus dengan jumlah cabang 7-16.2 Setiap proglotida gravid berisi kira-kira 30.000-50.000 telur. Setiap telur memiliki diameter 26-34μm dan berisi embrio (onkosfer) yang memiliki 6 kait (embrio hexacanth). 2
Cacing Taenia solium mendapat nutrisi dengan cara menyerap nutrisi yang ada di usus halus. Bagian tubuh cacing ini yang digunakan untuk mengambil nutrisi inang adalah tegumen. Tubuh cacing ini terdiri atas tiga bagian yaitu skoleks, leher, dan strobila. Skoleks merupakan organ tubuh cestoda yang berfungsi untuk melekat pada dinding usus. Skoleks merupakan anggota tubuh yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies dalam genus Taenia.
Morfologi skoleks Taenia solium terdiri atas sebuah rostelum dan empat buah batil hisap (sucker). Rostelum dan sucker tersebut dikelilingi oleh sebaris kait panjang (180 μm) dan kait pendek (130 μm) di mana setiap barisnya tersusun atas 22-32 kait . Stobila merupakan bagian tubuh berupa serangkaian proglotida yang berada di belakang leher. Strobila Taenia solium tersusun atas 800 sampai 1000 segmen (proglotida).
Cacing ini tergolong sebagai hemaprodit yaitu individu yang berkelamin ganda (jantan dan betina). Kedua organ kelamin tersebut berada pada setiap segmennya. Organ kelamin jantan dari cacing ini terdiri dari testis, vas efferens, dan kantong cirrus. Organ kelamin betina dari cacing ini terdiri dari ovarium, 6 tuba fallopii, uterus, saluran vitelin, kelenjar mehlis dan vitelin, seminal receptacle, serta vagina. Pada proglotida muda, organ kelamin belum tampak dengan jelas karena belum berkembang dengan sempurna. Kedua organ kelamin ini akan tampak dan berkembang pada proglotida dewasa dan akan hilang saat menjadi proglotida gravid. Zat-zat sisa metabolisme dari Taenia solium dewasa dan metacestodanya disebut dengan eskretori/sekretori (E/S). E/S tersebut terdiri dari glukosa, protein terlarut, asam laktat, urea, dan amoniak. Organ ekskresi yang berfungsi untuk membuang E/S keluar tubuh cacing ini terdiri dari collecting canal dan flame cell. Mekanisme pengeluaran E/S dari dalam tubuh cacing ini diawali dengan menampung E/S terlebih dahulu di dalam collecting canal. Organ ini terletak pada dorsal tubuh dan ventral tubuh. Saat collecting canal telah penuh berisi E/S, metabolit tersebut selanjutnya disalurkan keluar tubuh oleh flame cell.
Taenia solium di dalam inang antaranya berupa metacestoda yang disebut Cysticercus cellulosae. Sistiserkus ini memiliki ciri morfologi yaitu berupa gelembung ellipsoid yang berukuran 6-10 x 5-10 mm. Stuktur tubuh Cysticercus cellulosae terdiri dari kulit luar, cairan antara, dan lapisan kecambah. Kulit luar yang melapisi sistiserkus ini berupa lapisan kutikula, sedangkan cairan antara berupa plasma darah dari inangnya. Lapisan kecambah berupa skoleks yang dilengkapi dua baris kait.

C. SIKLUS HIDUP
Daur Hidup Taenia Solium
Babi merupakan inang antara dari Taenia solium dan manusia bertindak sebagai inang definitifnya. Namun, anjing dan manusia dapat menjadi inang antara dari cacing ini akibat autoinfeksi dan kontaminasi lingkungan . Siklus hidup Taenia solium berawal dari tertelannya telur infektif cacing ini oleh inang. Telur tersebut selanjutnya akan pecah di dalam lambung inang antaranya akibat bereaksi dengan asam lambung. Onkosfer yang telah menetas selanjutnya melakukan penetrasi ke dalam pembuluh darah dan ikut mengalir bersama darah ke seluruh organ. Onkosfer tersebut akan berkembang menjadi sistiserkus setelah mencapai otot, jaringan subkutan, otak, hati, jantung, dan mata.


Siklus hidup pada tubuh manusia
Siklus hidup Taenia solium akan berlanjut jika manusia sebagai inang definitifnya memakan daging babi yang mengandung sistiserkus tanpa proses pemasakan sempurna yaitu pemanasan lebih dari 60 °C. Sistiserkus selanjutnya mengadakan invaginasi pada dinding usus halus manusia dan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa ini mulai melepaskan proglotida gravidnya dua bulan setelah infeksi.. Telur infektif yang terkandung dalam penderita taeniasis inilah yang menjadi pencemar .
Cacing pita dewasa akan mulai mengeluarkan telurnya dalam feses penderita taeniasis anatara 8-12minggu setelah orang tersebut terinfeksi. Sewaktu-waktu, proglotida gravid yang berisi telur akan dilepaskan dari ujung strobila cacing dewasa dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen. Proglotida tersebut akan keluar melalui feses penderita. Telur dapat pula keluardari proglotida pada waktu berada di dalam usus manusia. Di luar tubuh manusia, telur akan menyebar ke tanah di lingkungan sekitar dan telur tersebut mampu bertahan hidup selama 5-9 bulan.

Siklus hidup pada tubuh babi
Infeksi akan terjadi apabila telur Taenia solium yang berembrio tertelan babi. Didalam lumen usus halus telur akan menetas dan mengeluarkan embrio (onkosfir). Selanjutnya onkosfir akan menembus dinding usus, masuk ke dalam pembuluh limfe atau ke aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh dan akan masuk ke organ-organ (predileksi) seperti otot jantung, otot lidah, otot daerah pipi, otot antar tulah rusuk, otot paha, paru-paru, hati, dan ginjal. Kista akan mulai terbentuk pada organ predileksi anatar 6-12 hari setelah infeksi. Sistiserkus kemudian terbentuk pada organ-organ tersebut dan dikenal dengan nama Cysticercus Cellulosae.

D. GEJALA KLINIS

1.      Taeniasis
Cacing dewasa yang biasanya berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti kecuali iritasi ringan pada tempat perlekatan atau gejala gejala abdominal yang tersamar. Bila ada dapat berupa nyeri ulu hati ,mencret,mual, obstipasi dan sakit kepala. Dapat dijumpai eosinofilia ringan, biasanya dibawah 15 %. (Gandahusada et al 2000)
Kondisi acut dan komplikasi dapat terjadi jika ada migrasi cacing dewasa pada tempat yang tidak umum misalnya, appendix, pankreas dan saluran empedu. Secara psikiologis penderita dapat merasa cemas karena adanya segmen atau proglotid pada tinja. Penderita akan merasa gatal sekitar anus dan dapat menemukan segmen pada pakaian dalam (celana) atau tempat tidur. (Sutisna, 19998 : 158 : Ditjen P2M & PLP, 1986 : 6)

2.        Cystiserkosis

Sistiserkus pada manusia paling sering ditemukan di otak (disebut neurosistiserkosis) mata,otot, dan lapisan bawah kulit.
Gejala biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi (Chin dan Khadun 2000;Gandahusada et al.2000). Pada manusia, sistiserkus sering ditemukan pada jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru, dan rongga perut. Klasifikasi (perkapuran) yang sering dijumpai pada sistiserkus biasanya tidak menimbulkan gejala,namun sewaktu – waktu dapat menyebabkan pseoduhipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi dan eosinofilia (Gandahusada et al.2000) . Pada jaringan otak atau medulla spinalis, sistiserkus jarang mengalami klasifikasi. Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan (epilepsi), meningo –ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang –kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus Internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal. Sebuah laporan menyatakan, bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak , dapat menyebabkan kematian (Gandahusada et al.2000)

E. EPIDEMIOLOGI
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, masyarakatnya juga dapat terinfeksi Taenia sp akibat perjalanan yang dilakukan di daerah endemis. Menurut Tolan (2011) semua usia rentan terhadap infeksi teniasis. Taeniasis solium pernah di laporkan terjadi pada anak usia 2 tahun di Mexico (Yanez, 2001)
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang umum dan dapat ditemukan pada seluruh bagian dunia (CFSPH, 2005). Sekitar 2-3 juta orang terinfeksi cacing Taenia solium (White, 1997; CFSPH, 2005), dan sekitar 50 juta orang mengidap sistiserkosis dari Taenia solium (CFSPH, 2005). Taenia solium merupakan infeksi endemik pada Amerika Tengah dan selatan serta beberapa negara di Asia Tenggara seperti Korea (Lee et al, 2010), Thailand (Anantaphrut et al, 2007), India, Filipina, Indonesia, Afrika (Carabin et al, 2009), Eropa timur, Nepal, Bhutan, dan China (Rajshekhar et al, 2003; WHO 2009). Prevalensi tertinggi ditemukan pada Amerika latin dan Afrika.
  Provinsi Papua, tepatnya di kabupaten jayawijaya memiliki prevalensi Taeniasis solium sebesar 15% (Subahar, et al, 2005).
Distribusi sistiserkosis didunia sangat luas. Lebih dari 50 juta orang  menderita sistiserkosis, namun jumlah ini masih diyakini melebihi jumlah yang sebenarnya (White, 1997; Wiria, 2008). Sekitar 50 juta orang meninggal per tahun akibat komplikasi sistiserkosis pada jantung dan otak (CFSPH, 2005; Tolan, 2011). Prevalensi sistiserkosis akibat Taenia solium paling sering terjadi di Amerika latin, Amerika tengah dan selatan, Asia tenggara, dan Afrika sub sahara (CFSPH, 2005; Garcia et al, 1999; WHO, 2009). Prevalensi neurosistiserkosis di antara penderita yang kejang pada daerah endemis lebih dari 29% (WHO, 2009). Prevalensi sistiserkosis di papua, di daerah pedesaan kabupaten jayawijaya sebesar 41,3-66,7% (subahar et al, 2005) sedangkan di Sumatera utara prevalensi taeniasis dan sistiserkosis sejak tahun 1972-2000 berkisar antara 1,9 %-2,29% (simanjuntak dan Widarso, 2004).

Epidemoilogi pada babi
Penelitian mengenai sistiserkus Taenia solium tahun 2002 di dapatkan prevalensi sistiserkosis pada babi di China, India, dan Nepal adalah 5,4%, 9,3%, 32,5% (Rajshekhar et al , 2003). Penelitian oleh Gweba et al (2010) di itali memeriksa babi hidup dengan palpasi lidah dan juga pemeriksaan inspeksi daging di dapatkan angka 5,85% dan 14,4% pada masing-masing pemeriksaan. Penelitian pada babi dilakukan oleh Maitindom (2008) pada kabupaten jayawijaya, papua didapatkan angka prevalensi 77,1%. Selain itu penelitian di Bali oleh Suweta (1991) menunjukkan angka sistiserkosis pada babi 0,5%.

F. DIAGNOSIS
 Taeniasis
Dapat ditegakkan dengan 2 cara :
1.      Menanyakan riwayat penyakit (anamnesa)
Didalam anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah penderita pernah mengeluarkan proglotid (segmen) dari cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun secara spontan 
2.      Pemeriksaan Tinja
Tinja yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari deteksi spontan. Sebaiknya diperiksa dalam keadaan  segar. Bila tidak memungkinkan untuk diperiksa segera, tinja tersebut diberi formalin 5-10% atau spirtus sebagai pengawet.
Pemeriksaan tinja secara mikroskopis dilakukan antara lain dengan metode langsung (secara relatif) bahan pengencer yang dipakai NaCl 0,9 % atau Lugol.
Pemeriksaan dengan metode langsung ini kurang sensitif dan spesifik. Terutama telur yang tidak selalu ada dalam tinja dan secara morfologi sulit diidentifikasi. Metode pemeriksaan lain yang lebih sensitif dan spesifik misalnya teknis sedimentasi eter; anal swab; dan coproantigen (paling spesifik dan sensitif). 
Sistiserkosis
Diagnosa sistiserkosis biasanya tergantung pada pembedahan untuk mengeluarkan parasitnya dan pemeriksaan mikroskopik atas adanya batil isap dan kait pada skoleks. Seringkali terdapat larva multipel dan adanya sistiserkus dalam jaringan subkutan atau otot menunjukkan bahwa otak mungkin juga terkena. Larva yang mengalami perkapuran dapat langsung terlihat pada sinar-X . CT Scan dapat memperlihatkan adanya lesi dalam otak. Apabila bentuk rasemosa ada dalam otak. Apabila bentuk rasemosa ada dalam otak, CT scan tidak dapat membedakan lesi dengan tumor – tumor yang disebabkan oleh penyebab lainnya. Sistiserkosis mata biasanya dapat didiagnosis melalui identifikasi visual dari gerakan dan morfologi dari larvanya. Meskipun test serologis dapat membantu pada beberapa kasus, dapat dijumpai reaksi silang di antara sistiserkosis dan infeksi hidatid (Schantz dkk, 1980)
 Dinyatakan tersangka sistiserkosis apabila pada :
a)      Anamnesis :
1.      Berasal dari / berdomisili di daerah endemis taeniasis/ sistiserkosis
2.      Gejala Taeniasis
3.      Riwayat mengeluarkan proglotid
4.      Benjolan (“nodul subkutan”) pada salah satu atau lebih bagian tubuh
5.      Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya
6.      Riwayat / gejala epilepsi
7.      Gejala peninggian tekanan intra kranial
8.      Gejala neurologis lainnya

b)      Pemeriksaan fisik :
1.      Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih
2.      Kelainan mata (oscular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh sistiserkosis
3.      Kelainan neurologis

c)      Pemeriksaan penunjang :
1.      Pemeriksaan tinja secara makroskopis : proglotid
2.      Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : Telur Taenia Sp
3.      Pemeriksaan serologis : sistiserkosis
4.      Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan gambaran menunjukkan patologi anatomi yang khas untuk sistiserkosis
 Neurosistiserkosis
Dinyatakan adanya tersangka neurosistiserkosis apabila :
a)      Anamnesis :
1.      Berasal dari / berdomisili di daerah endemis taeniasis/ sistiserkosis
2.      Gejala Taeniasis
3.      Riwayat mengeluarkan proglotid
4.      Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya
5.      Riwayat / gejala epilepsi
6.      Gejala peninggian tekanan intra kranial
7.      Gejala neurologis lainnya

b)      Pemeriksaan fisik :
1.      Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih
2.      Kelainan mata (oscular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh sistiserkosis
3.      Kelainan neurologis
4.      Pemeriksaan penunjang
5.      Pemeriksaan tinja secara makroskopis : proglotid (+)
6.      Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : Telur Taenia Sp (+)
7.      Pemeriksaan darah tepi : Hb, Leukosit (Leukositosis), Eritrosit, hitung jenis (eosinofilia), LED (meningkat dan gula darah)
8.      Pungsi Lumbal sel (eosinofil meningkat 70 %),protein (meningkat 100%), glukosa (menurun 70 % dibandingkan dengan glukosa darah) NaCl.
9.      Pemeriksaan serologis (ELISA dan immunoblot): sistiserkosis (+) spesimen yang diperiksa berupa cairan otak (LCS) kurang lebih 2-3 cc. Tempat pemeriksaan di laboratorium yang telah ditentukan. Pengiriman spesimen cairan otak dengan tabung / botol steril dan es batu (1 derajat C) Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan foto kepala (untuk kista yang sudah mengalami kalsifikasi) dan lebih baik lagi pemeriksaan CT- Scan (Computerized Tomography Scanning) atau MRI.

G. PENCEGAHAN
Tindakan Pencegahan Penyebaran Taeniasis/Sistiserkosis :
1.       Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita taenasis
2.      Pemakaian jamban keluarga ,sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah atau rumput.
3.      Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran.
4.      Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di RPH, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas Peternakan)
5.      Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Irian jaya.
6.      Menghilangkan kebiasaan maka makanan yang mengandung daging setengah matang atau mentah.
7.      Memasak daging sampai matang ( diatas 57 º C dalam waktu cukup lama ) atau membekukan dibawah 10º selama 5 hari . Pendekatan ini ada yang dapat diterima ,tetapi dapat pula tidak berjalan , karena perubahan yang bertentangan dengan adat istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.
8.      Pencegahan sistiserkosis pada babi dapat dilakukan melalui vaksinasi. Tipe vaksin yang dapat diberikan untuk vaksinasi tersebut adalah synthetic peptide-based vaccine .

 H. PENGOBATAN


Obat-obat untuk memberantas cacing pita dapat digolongkan menjadi dua, yaitu taeniafuge dan taeniacide.
Taeniafuge ialah golongan obat yang menyebabkan relaksasi otot cacing sehingga cacing menjadi lemas. Contohnya: kuinakrin hidroklorid (atabrin), bitionol dan aspidium oleoresin.
Sedangkan taeniacide adalah golongan obat yang dapat membunuh cacing. Contohnya: niklosamid (yomesan), mebendazol dan diklorofen.








DAFTAR PUSTAKA

Rajshekar V et al, 2006. Taenia solium taeniosis/cysticercosis in Asia:Epidemiolgy, impact and issue. Acta Trop 87:53-60