BAB I
PENDAHULUAN
Cestoda juga disebut sebagai cacing pita karena bentuknya pipih panjang
seperti pita. Tubuh Cestoda dilapisi kutikula dan terdiri dari bagian anterior
yang disebut skoleks, leher (strobilus), dan rangkaian proglotid.
Pada skoleks terdapat alat pengisap. Skoleks
pada jenis Cestoda tertentu selain memiliki alat pengisap, juga memiliki kait
(rostelum) yang berfungsi untuk melekat pada organ tubuh inangnya. Dibelakang
skoleks pada bagian leher terbentuk proglotid.
Setiap proglotid mengandung organ kelamin jantan (testis) dan organ kelamin betina (ovarium).Tiap proglotid dapat terjadi fertilisasi sendiri. Proglotid yang dibuahi terdapat di bagian posterior tubuh cacing. Proglotid dapat melepaskan diri (strobilasi) dan keluar dari tubuh inang utama bersama dengan tinja.
Bentuk badan cacing dewasa memanjang menyerupai pita,biasanya pipih dorsoventral,tidak mempunyai alat cerna atau saluran vascular dan biasanya terbagi atas segmen-segmen yang di sebut proglotid yang bila dewasa berisi alat reproduktif jantan dan betina. Ujung bagian anterior berubah menjadi sebuah alat perekat,di sebut skoleks,yang di lengkapi dengan alat-alat isap dan kait-kait.
Setiap proglotid mengandung organ kelamin jantan (testis) dan organ kelamin betina (ovarium).Tiap proglotid dapat terjadi fertilisasi sendiri. Proglotid yang dibuahi terdapat di bagian posterior tubuh cacing. Proglotid dapat melepaskan diri (strobilasi) dan keluar dari tubuh inang utama bersama dengan tinja.
Bentuk badan cacing dewasa memanjang menyerupai pita,biasanya pipih dorsoventral,tidak mempunyai alat cerna atau saluran vascular dan biasanya terbagi atas segmen-segmen yang di sebut proglotid yang bila dewasa berisi alat reproduktif jantan dan betina. Ujung bagian anterior berubah menjadi sebuah alat perekat,di sebut skoleks,yang di lengkapi dengan alat-alat isap dan kait-kait.
BAB II
ISI
A.
DEFINISI
Taeniasis
Penyakit zoonosis parasite yang disebabkan
oleh cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia pada manusia.
Sistiserkosis/neurosistiserkosis
Sistiserkosis (cysticercosis) ialah infeksi
oleh bentuk larva Taenia solium pada
manusia, apabila infeksi ini berlangsung pada system saraf pusat, maka disebut
neurosistiserkosis.
Hospes
Definitif dari Taenia sp
hanya manusia, dan pada Taenia solium
manusia juga berperan sebagai hospes perantara. Sedangkan hewan (hospes
perantara) ialah babi.
Sumber
penularan :
Taeniasis solium :
1. Memakan
daging babi yang mengandung larva (cysticercus cellulosa)
Sistiserkosis cellulosa
:
1. Melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh telur-telur cacing Taenia solium
2.Penularan
juga dapat terjadi karena autoinfeksi, yaitu langsung melalui ano-oral akibat kebersihan
tangan.
3. Penularan juga bisa
karena autoinfeksi interna, yaitu infeksi yang berlangsung dengan sendirinya.
Hal ini disebabkan oleh gerakan batik peristaltic usus, misalnya pada keadaan
muntah-muntah sehingga proglotid atau telur cacing naik ke lambung lalu pecah
dan isinya keluar dan menembus dinding lambung kemudian masuk ke peredaran
darah dan pada akhirnya menjadi cysticercus di dalam organ-organ.
Masa
tunas :
Masa
tunas infeksi cacing berkisar antara 8-14 minggu. Cacing pita dewasa daoat
bertahan hidup sampai 25 tahun dalam usus.
B. TAKSONOMI
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class :
Cestoda
Ordo :
Cyclophyllidea
Family : Taeneidea
Genus :
Taenia
Species : Taenia solium
Morfologi :
Cacing dewasa
kemungkinan berukuran panjang 3-5 meter, namun juga ada yang panjangnya
mencapai 8 meter. Bagian kepala (skoleks) Taenia solium memiliki rostelum dengan
dua baris kait. Proglotid gavid panjangnya 10-12mm dan lebarnya 5-6mm serta
memiliki uterus dengan jumlah cabang 7-16.2 Setiap proglotida
gravid berisi kira-kira 30.000-50.000 telur. Setiap telur memiliki diameter
26-34μm dan berisi embrio (onkosfer) yang memiliki 6 kait (embrio hexacanth). 2
Cacing Taenia solium
mendapat nutrisi dengan cara menyerap nutrisi yang ada di usus halus. Bagian
tubuh cacing ini yang digunakan untuk mengambil nutrisi inang adalah tegumen.
Tubuh cacing ini terdiri atas tiga bagian yaitu skoleks, leher, dan strobila.
Skoleks merupakan organ tubuh cestoda yang berfungsi untuk melekat pada dinding
usus. Skoleks merupakan anggota tubuh yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi spesies dalam genus Taenia.
Morfologi skoleks Taenia
solium terdiri atas sebuah rostelum dan empat buah batil hisap (sucker).
Rostelum dan sucker tersebut dikelilingi oleh sebaris kait panjang (180
μm) dan kait pendek (130 μm) di mana setiap barisnya tersusun atas 22-32 kait . Stobila merupakan bagian
tubuh berupa serangkaian proglotida yang berada di belakang leher. Strobila Taenia
solium tersusun atas 800 sampai 1000 segmen (proglotida).
Cacing ini tergolong
sebagai hemaprodit yaitu individu yang berkelamin ganda (jantan dan betina).
Kedua organ kelamin tersebut berada pada setiap segmennya. Organ kelamin jantan
dari cacing ini terdiri dari testis, vas efferens, dan kantong cirrus. Organ
kelamin betina dari cacing ini terdiri dari ovarium, 6 tuba fallopii, uterus,
saluran vitelin, kelenjar mehlis dan vitelin, seminal receptacle, serta
vagina. Pada proglotida muda, organ kelamin belum tampak dengan jelas karena
belum berkembang dengan sempurna. Kedua organ kelamin ini akan tampak dan
berkembang pada proglotida dewasa dan akan hilang saat menjadi proglotida gravid.
Zat-zat sisa metabolisme dari Taenia solium dewasa dan metacestodanya
disebut dengan eskretori/sekretori (E/S). E/S tersebut terdiri dari glukosa,
protein terlarut, asam laktat, urea, dan amoniak. Organ ekskresi yang berfungsi
untuk membuang E/S keluar tubuh cacing ini terdiri dari collecting canal dan
flame cell. Mekanisme pengeluaran E/S dari dalam tubuh cacing ini
diawali dengan menampung E/S terlebih dahulu di dalam collecting canal. Organ
ini terletak pada dorsal tubuh dan ventral tubuh. Saat collecting canal telah
penuh berisi E/S, metabolit tersebut selanjutnya disalurkan keluar tubuh oleh flame
cell.
Taenia solium di dalam inang antaranya
berupa metacestoda yang disebut Cysticercus cellulosae. Sistiserkus ini
memiliki ciri morfologi yaitu berupa gelembung ellipsoid yang berukuran 6-10 x
5-10 mm. Stuktur tubuh Cysticercus cellulosae terdiri dari kulit luar,
cairan antara, dan lapisan kecambah. Kulit luar yang melapisi sistiserkus ini
berupa lapisan kutikula, sedangkan cairan antara berupa plasma darah dari
inangnya. Lapisan kecambah berupa skoleks yang dilengkapi dua baris kait.
C. SIKLUS HIDUP
Daur
Hidup Taenia Solium
Babi
merupakan inang antara dari Taenia solium dan manusia bertindak sebagai
inang definitifnya. Namun, anjing dan manusia dapat menjadi inang antara dari
cacing ini akibat autoinfeksi dan kontaminasi lingkungan .
Siklus hidup Taenia
solium berawal dari tertelannya telur infektif cacing ini oleh inang. Telur
tersebut selanjutnya akan pecah di dalam lambung inang antaranya akibat bereaksi
dengan asam lambung. Onkosfer yang telah menetas selanjutnya melakukan
penetrasi ke dalam pembuluh darah dan ikut mengalir bersama darah ke seluruh
organ. Onkosfer tersebut akan berkembang menjadi sistiserkus setelah mencapai
otot, jaringan subkutan, otak, hati, jantung, dan mata.
Siklus hidup pada tubuh
manusia
Siklus hidup Taenia
solium akan berlanjut jika manusia sebagai inang definitifnya memakan
daging babi yang mengandung sistiserkus tanpa proses pemasakan sempurna yaitu
pemanasan lebih dari 60 °C. Sistiserkus selanjutnya mengadakan invaginasi pada
dinding usus halus manusia dan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa
ini mulai melepaskan proglotida gravidnya dua bulan setelah infeksi.. Telur
infektif yang terkandung dalam penderita taeniasis inilah yang menjadi pencemar
.
Cacing pita dewasa akan
mulai mengeluarkan telurnya dalam feses penderita taeniasis anatara 8-12minggu
setelah orang tersebut terinfeksi. Sewaktu-waktu, proglotida gravid yang berisi
telur akan dilepaskan dari ujung strobila cacing dewasa dalam kelompok-kelompok
yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen. Proglotida tersebut akan keluar melalui
feses penderita. Telur dapat pula keluardari proglotida pada waktu berada di
dalam usus manusia. Di luar tubuh manusia, telur akan menyebar ke tanah di
lingkungan sekitar dan telur tersebut mampu bertahan hidup selama 5-9 bulan.
Siklus hidup pada tubuh babi
Infeksi akan terjadi
apabila telur Taenia solium yang berembrio tertelan babi. Didalam lumen usus
halus telur akan menetas dan mengeluarkan embrio (onkosfir). Selanjutnya
onkosfir akan menembus dinding usus, masuk ke dalam pembuluh limfe atau ke
aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh dan akan masuk ke organ-organ
(predileksi) seperti otot jantung, otot lidah, otot daerah pipi, otot antar
tulah rusuk, otot paha, paru-paru, hati, dan ginjal. Kista akan mulai terbentuk
pada organ predileksi anatar 6-12 hari setelah infeksi. Sistiserkus kemudian
terbentuk pada organ-organ tersebut dan dikenal dengan nama Cysticercus
Cellulosae.
D. GEJALA KLINIS
1.
Taeniasis
Cacing dewasa yang biasanya
berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti kecuali iritasi
ringan pada tempat perlekatan atau gejala gejala abdominal yang tersamar. Bila
ada dapat berupa nyeri ulu hati ,mencret,mual, obstipasi dan sakit kepala.
Dapat dijumpai eosinofilia ringan, biasanya dibawah 15 %. (Gandahusada et al
2000)
Kondisi acut dan komplikasi dapat
terjadi jika ada migrasi cacing dewasa pada tempat yang tidak umum misalnya,
appendix, pankreas dan saluran empedu. Secara psikiologis penderita dapat
merasa cemas karena adanya segmen atau proglotid pada tinja. Penderita akan
merasa gatal sekitar anus dan dapat menemukan segmen pada pakaian dalam
(celana) atau tempat tidur. (Sutisna, 19998 : 158 : Ditjen P2M & PLP, 1986
: 6)
2. Cystiserkosis
Sistiserkus pada manusia paling
sering ditemukan di otak (disebut neurosistiserkosis) mata,otot, dan lapisan
bawah kulit.
Gejala biasanya muncul beberapa
minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi (Chin dan
Khadun 2000;Gandahusada et al.2000). Pada manusia, sistiserkus sering
ditemukan pada jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot jantung, hati,
paru, dan rongga perut. Klasifikasi (perkapuran) yang sering dijumpai pada
sistiserkus biasanya tidak menimbulkan gejala,namun sewaktu – waktu dapat
menyebabkan pseoduhipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi dan
eosinofilia (Gandahusada et al.2000) . Pada jaringan otak atau medulla
spinalis, sistiserkus jarang mengalami klasifikasi. Keadaan ini sering
menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan (epilepsi),
meningo –ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang
tinggi seperti nyeri kepala dan kadang –kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus
Internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal.
Sebuah laporan menyatakan, bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan
dalam ventrikel IV dari otak , dapat menyebabkan kematian (Gandahusada et
al.2000)
E. EPIDEMIOLOGI
Taeniasis dan sistiserkosis
merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah.
Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, masyarakatnya juga dapat
terinfeksi Taenia sp akibat perjalanan yang dilakukan di daerah endemis.
Menurut Tolan (2011) semua usia rentan terhadap infeksi teniasis. Taeniasis
solium pernah di laporkan terjadi pada anak usia 2 tahun di Mexico (Yanez,
2001)
Taeniasis dan sistiserkosis
merupakan infeksi parasit yang umum dan dapat ditemukan pada seluruh bagian
dunia (CFSPH, 2005). Sekitar 2-3 juta orang terinfeksi cacing Taenia solium (White,
1997; CFSPH, 2005), dan sekitar 50 juta orang mengidap sistiserkosis dari Taenia
solium (CFSPH, 2005). Taenia solium merupakan infeksi endemik pada
Amerika Tengah dan selatan serta beberapa negara di Asia Tenggara seperti Korea
(Lee et al, 2010), Thailand (Anantaphrut et al, 2007), India, Filipina,
Indonesia, Afrika (Carabin et al, 2009), Eropa timur, Nepal, Bhutan, dan China
(Rajshekhar et al, 2003; WHO 2009). Prevalensi tertinggi ditemukan pada Amerika
latin dan Afrika.
Provinsi Papua, tepatnya di kabupaten
jayawijaya memiliki prevalensi Taeniasis solium sebesar 15% (Subahar, et
al, 2005).
Distribusi sistiserkosis didunia sangat luas. Lebih dari 50 juta
orang menderita sistiserkosis, namun jumlah
ini masih diyakini melebihi jumlah yang sebenarnya (White, 1997; Wiria, 2008).
Sekitar 50 juta orang meninggal per tahun akibat komplikasi sistiserkosis pada
jantung dan otak (CFSPH, 2005; Tolan, 2011). Prevalensi sistiserkosis akibat Taenia
solium paling sering terjadi di Amerika latin, Amerika tengah dan selatan,
Asia tenggara, dan Afrika sub sahara (CFSPH, 2005; Garcia
et al, 1999; WHO, 2009). Prevalensi neurosistiserkosis di antara penderita
yang kejang pada daerah endemis lebih dari 29% (WHO, 2009). Prevalensi
sistiserkosis di papua, di daerah pedesaan kabupaten jayawijaya sebesar
41,3-66,7% (subahar et al, 2005) sedangkan di Sumatera utara prevalensi
taeniasis dan sistiserkosis sejak tahun 1972-2000 berkisar antara 1,9 %-2,29%
(simanjuntak dan Widarso, 2004).
Epidemoilogi pada babi
Penelitian mengenai sistiserkus Taenia solium tahun
2002 di dapatkan prevalensi sistiserkosis pada babi di China, India, dan Nepal
adalah 5,4%, 9,3%, 32,5% (Rajshekhar et al , 2003).
Penelitian oleh Gweba et al (2010)
di itali memeriksa babi hidup dengan palpasi lidah dan juga pemeriksaan
inspeksi daging di dapatkan angka 5,85% dan 14,4% pada masing-masing
pemeriksaan. Penelitian pada babi dilakukan oleh Maitindom (2008) pada
kabupaten jayawijaya, papua didapatkan angka prevalensi 77,1%. Selain itu
penelitian di Bali oleh Suweta (1991) menunjukkan angka sistiserkosis pada babi
0,5%.
F. DIAGNOSIS
Taeniasis
Dapat
ditegakkan dengan 2 cara :
1.
Menanyakan riwayat penyakit (anamnesa)
Didalam
anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah penderita pernah mengeluarkan
proglotid (segmen) dari cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun
secara spontan
2.
Pemeriksaan Tinja
Tinja
yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari deteksi spontan. Sebaiknya diperiksa
dalam keadaan segar. Bila tidak memungkinkan untuk diperiksa segera,
tinja tersebut diberi formalin 5-10% atau spirtus sebagai pengawet.
Pemeriksaan
tinja secara mikroskopis dilakukan antara lain dengan metode langsung (secara
relatif) bahan pengencer yang dipakai NaCl 0,9 % atau Lugol.
Pemeriksaan
dengan metode langsung ini kurang sensitif dan spesifik. Terutama telur yang
tidak selalu ada dalam tinja dan secara morfologi sulit diidentifikasi. Metode
pemeriksaan lain yang lebih sensitif dan spesifik misalnya teknis sedimentasi
eter; anal swab; dan coproantigen (paling spesifik dan sensitif).
Sistiserkosis
Diagnosa sistiserkosis biasanya tergantung pada pembedahan
untuk mengeluarkan parasitnya dan pemeriksaan mikroskopik atas adanya batil
isap dan kait pada skoleks. Seringkali terdapat larva multipel dan adanya
sistiserkus dalam jaringan subkutan atau otot menunjukkan bahwa otak mungkin
juga terkena. Larva yang mengalami perkapuran dapat langsung terlihat pada
sinar-X . CT Scan dapat memperlihatkan adanya lesi dalam otak. Apabila bentuk
rasemosa ada dalam otak. Apabila bentuk rasemosa ada dalam otak, CT scan tidak
dapat membedakan lesi dengan tumor – tumor yang disebabkan oleh penyebab
lainnya. Sistiserkosis mata biasanya dapat didiagnosis melalui identifikasi
visual dari gerakan dan morfologi dari larvanya. Meskipun test serologis dapat
membantu pada beberapa kasus, dapat dijumpai reaksi silang di antara
sistiserkosis dan infeksi hidatid (Schantz dkk, 1980)
Dinyatakan
tersangka sistiserkosis apabila pada :
a)
Anamnesis :
1.
Berasal dari / berdomisili di daerah endemis taeniasis/ sistiserkosis
2.
Gejala Taeniasis
3.
Riwayat mengeluarkan proglotid
4.
Benjolan (“nodul subkutan”) pada salah satu atau lebih bagian tubuh
5. Gejala pada mata dan gejala
sistiserkosis lainnya
6.
Riwayat / gejala epilepsi
7.
Gejala peninggian tekanan intra kranial
8.
Gejala neurologis lainnya
b)
Pemeriksaan fisik :
1.
Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih
2.
Kelainan mata (oscular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh
sistiserkosis
3. Kelainan neurologis
c) Pemeriksaan penunjang :
1.
Pemeriksaan tinja secara makroskopis : proglotid
2.
Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : Telur Taenia Sp
3.
Pemeriksaan serologis : sistiserkosis
4.
Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan gambaran menunjukkan patologi anatomi
yang khas untuk sistiserkosis
Neurosistiserkosis
Dinyatakan
adanya tersangka neurosistiserkosis apabila :
a)
Anamnesis :
1.
Berasal dari / berdomisili di daerah endemis taeniasis/ sistiserkosis
2.
Gejala Taeniasis
3.
Riwayat mengeluarkan proglotid
4.
Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya
5.
Riwayat / gejala epilepsi
6.
Gejala peninggian tekanan intra kranial
7.
Gejala neurologis lainnya
b)
Pemeriksaan fisik :
1.
Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih
2.
Kelainan mata (oscular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh
sistiserkosis
3. Kelainan neurologis
4.
Pemeriksaan penunjang
5.
Pemeriksaan tinja secara makroskopis : proglotid (+)
6.
Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : Telur Taenia Sp (+)
7.
Pemeriksaan darah tepi : Hb, Leukosit (Leukositosis), Eritrosit, hitung jenis
(eosinofilia), LED (meningkat dan gula darah)
8.
Pungsi Lumbal sel (eosinofil meningkat 70 %),protein (meningkat 100%), glukosa
(menurun 70 % dibandingkan dengan glukosa darah) NaCl.
9.
Pemeriksaan serologis (ELISA dan immunoblot): sistiserkosis (+) spesimen yang
diperiksa berupa cairan otak (LCS) kurang lebih 2-3 cc. Tempat pemeriksaan di
laboratorium yang telah ditentukan. Pengiriman spesimen cairan otak dengan
tabung / botol steril dan es batu (1 derajat C) Bila memungkinkan dilakukan
pemeriksaan foto kepala (untuk kista yang sudah mengalami kalsifikasi) dan
lebih baik lagi pemeriksaan CT- Scan (Computerized Tomography Scanning) atau
MRI.
G.
PENCEGAHAN
Tindakan
Pencegahan Penyebaran Taeniasis/Sistiserkosis :
1. Usaha untuk
menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita taenasis
2. Pemakaian jamban
keluarga ,sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari
tanah atau rumput.
3. Pemelihara sapi atau
babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan sehingga tidak
dapat berkeliaran.
4. Pemeriksaan daging oleh
dokter hewan/mantri hewan di RPH, sehingga daging yang mengandung kista tidak
sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas Peternakan)
5. Daging yang mengandung
kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista
tersebut dalam daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak memotong babi
untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Irian jaya.
6. Menghilangkan kebiasaan
maka makanan yang mengandung daging setengah matang atau mentah.
7. Memasak daging sampai
matang ( diatas 57 º C dalam waktu cukup lama ) atau membekukan dibawah 10º
selama 5 hari . Pendekatan ini ada yang dapat diterima ,tetapi dapat pula tidak
berjalan , karena perubahan yang bertentangan dengan adat istiadat setempat
akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan
dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.
8. Pencegahan
sistiserkosis pada babi dapat dilakukan melalui vaksinasi. Tipe vaksin yang
dapat diberikan untuk vaksinasi tersebut adalah synthetic peptide-based
vaccine
.
H. PENGOBATAN
Obat-obat untuk memberantas cacing
pita dapat digolongkan menjadi dua, yaitu taeniafuge dan taeniacide.
Taeniafuge ialah golongan obat yang
menyebabkan relaksasi otot cacing sehingga cacing menjadi lemas. Contohnya:
kuinakrin hidroklorid (atabrin), bitionol dan aspidium oleoresin.
Sedangkan taeniacide adalah
golongan obat yang dapat membunuh cacing. Contohnya: niklosamid (yomesan),
mebendazol dan diklorofen.
DAFTAR
PUSTAKA
Rajshekar V et al, 2006. Taenia solium
taeniosis/cysticercosis in Asia:Epidemiolgy, impact and issue. Acta Trop
87:53-60
The Best New Slots Games for 2021 | MapyRO
BalasHapusPlay the newest slot games, including a few Slots Casino Software. Slots.lv logo. 군포 출장안마 Casino Software. Slots.lv logo. 안양 출장샵 Casino Software. Slots.lv logo. Casino Software. Slots.lv 군산 출장마사지 logo. Casino Software. Slots.lv logo. Casino 세종특별자치 출장안마 Software. Slots.lv logo. 구미 출장샵